TERAWANGNEWS.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan. Jadi, kini jaksa tidak boleh mengajukan PK. Gugatan itu diajukan notaris Hartono.
“Menyatakan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi putusan MK yang dibacakan Ketua MK dalam sidang yang disiarkan di YouTube, Jumat (Jumat/14/4/2023).
Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan yang dihapus berbunyi:
Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 30B Kejaksaan mengajukan Peninjauan Kembali.
MK menilai pasal di atas telah ternyata tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam empat landasan pokok untuk mengajukan PK sebagaimana diatur dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang telah dimaknai secara konstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
“Artinya, adanya penambahan kewenangan Jaksa dalam pengajuan PK sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 bukan hanya akan mengakibatkan adanya disharmonisasi hukum dan ambiguitas dalam hal pengajuan PK, namun lebih jauh lagi, pemberlakuan norma tersebut berakibat terlanggarnya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ucap MK.
Menurut MK, dengan disisipkannya Pasal 30C huruf h beserta Penjelasannya dalam UU 11/2021 berarti telah menambah kewenangan kejaksaan, in casu kewenangan untuk mengajukan PK tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas tentang substansi dari pemberian kewenangan tersebut.
“Menurut Mahkamah, penambahan kewenangan tersebut bukan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum, namun juga akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh Jaksa khususnya dalam hal pengajuan PK terhadap perkara yang notabene telah dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,” beber MK.
Atas putusan itu, kuasa hukum Hartono, Singgih Tomi Gumilang mengapresiasi MK.
“Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Rasa syukur kami tak terhingga atas diterimanya uji materiil UU Kejaksaan yang diajukan oleh klien kami di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Langkah awal ini merupakan titik terang dalam perjuangan kami, untuk memperjuangkan hak-hak klien kami. SITOMGUM Law Firm akan segera menginformasikan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang positif ini,”
“Kami teguh berkomitmen, untuk terus mencari terobosan-terobosan hukum inovatif yang mampu menegakkan keadilan bagi klien kami. Kami yakin, bahwa melalui tekad kuat dan kerja keras, hak-hak klien kami akan segera dipulihkan dan keadilan akan senantiasa berdiri tegak,” kata Singgih Tomi Gumilang.
Kasus bermula saat terjadi jual beli saham kepemilikan perusahaan yang bergerak dalam bidang wisata di Gianyar pada 2015. Hartono selaku notaris mengesahkan jual beli itu. Belakangan, terjadi silang sengketa antar penjual dan pembeli. Kejaksaan akhirnya memintai pertanggungjawaban hukum Hartono di meja hijau.
Pada 13 November 2019, Pengadilan Negeri (PN) Gianyar menyatakan Hartono bersalah turut serta melakukan pemalsuan surat dan menjatuhkan 2 tahun penjara. Pada 21 Januari 2022, Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar membalik keadaan dengan membebaskan Hartono. Majelis tinggi menyatakan Hartono bebas murni dan memulihkan martabatnya.
Jaksa yang menuntut 5 tahun penjara tidak terima dan mengajukan kasasi. Keadaan kembali berbalik. Hartono kembali dinyatakan bersalah turut serta melakukan pemalsuan surat dan dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. Duduk sebagai ketua majelis kasasi Sofyan Sitompul dengan anggota Gazalba Saleh dan Desnayeti.
Mendapati putusan kasasi itu, notaris kelahiran 1963 itu tidak terima dan mengajukan PK. Di tingkat paling akhir ini, majelis PK menjatuhkan vonis bebas murni ke Hartono pada 15 September 2021. Berikut amar PK:
Membebaskan Terpidana tersebut oleh karena itu dari semua dakwaan;
Memerintahkan Terpidana dibebaskan seketika; Memulihkan hak Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Duduk sebagai ketua majelis Suhadi dengan anggota Eddy Army dan Soesilo. Mendapati putusan yang paling ujung itu, Hartono bernafas lega. Nama baiknya pulih dan nyata-nyata tidak bersalah di kasus itu.
Tapi kebahagiaan itu tidak berjalan lama. Jaksa tiba-tiba mengajukan PK tandingan.
“PK-nya sudah didaftarkan ke PN Gianyar,” kata kuasa hukum Hartono, Singgih Tomi Gumilang.
Atas PK tandingan itu, Hartono tidak tinggal diam dan mengajukan gugatan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan ke MK. Hartono menilai PK jaksa itu melanggar UUD 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
“Menyatakan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP,” ujar Singgih Tomi Gumilang.
Singgih mengingatkan bila PK prinsipnya merupakan upaya hukum luar biasa (extraordinary remedy) terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Upaya hukum PK bertujuan untuk memberikan keadilan hukum, dan bisa diajukan oleh pihak yang berperkara baik untuk perkara pidana maupun perkara perdata. PK merupakan hak Terpidana selama menjalani masa pidana.
“Dalam KUHAP, khususnya Pasal 263 ayat (1) secara limitatitf tidak menyebutkan Jaksa Penuntut Umum, maka hal itu berarti bahwa Jaksa/Penuntut Umum DILARANG mengajukan permohonan Peninjauan Kembali,” kata Singgih tegas.
Apalagi, larangan jaksa mengajukan PK sudah diperintahkan MK yaitu dalam putusan 33/PUU-XIV/2016. Maka Hartono yakin UU Kejaksaan tersebut melanggar konstitusi.
“Ternyata, pembentuk Undang-Undang masih saja membuat aturan yang memberikan kewenangan Peninjauan Kembali kepada Jaksa/Penuntut Umum, tentu hal ini justru merusak tatanan norma hukum acara yang sudah ada, dan hal itu menyebabkan tidak adanya kepastian hukum yang adil bagi Terpidana,” ucap Singgih Tomi Gumilang.
Sumber: Detik.com