Kasus Djoko Tjandra, Eks Interpol Jelaskan Mekanisme Red Notice

TerawangNews.com, JAKARTA – Komjen (Purn) Setyo Wasisto selaku Sekretaris NCB Interpol periode 2013-2015 menjelaskan bahwa penghapusan Red Notice hanya bisa diajukan oleh instansi, bukan perorangan.

Setyo menuturkan Red Notice merupakan satu mekanisme permintaan bantuan kepada negara anggota Interpol untuk menangkap dan menahan buronan atau DPO. Ia menjelaskan semua aparat penegak hukum bisa mengajukan Red Notice.

Hal itu disampaikannya dalam sidang lanjutan dengan terdakwa Djoko Tjandra dan Tommy Sumardi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/11/2020).

“Pengajuan Red Notice itu oleh instansi, bukan perorangan dalam hal ini penyidik. Kemudian untuk permintaan penghapusan juga demikian harus dilengkapi dengan berkas-berkas,” kata Setyo seperti dikutip dari CNNIndonesia.com

“Contoh DPO meninggal dunia, itu harus ada surat kematian, dilaporkan Interpol Lyon, kemudian kasusnya mungkin sudah selesai itu juga harus dilengkapi berkas-berkas bahwa menyatakan kasus yang bersangkutan sudah selesai sehingga bisa dicabut Red Notice-nya,” terangnya lagi.

Setyo mengaku mengingat Red Notice Djoko Tjandra pada kurun waktu Juni 2009. Kala itu terdapat adendum atau lampiran karena mendapat informasi bahwa terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali itu mengubah nama dan menggunakan paspor baru.

“Kami kirim ke Interpol untuk diterbitkan adendum sehingga apabila dicari nama-nama ini yang disebutkan akan muncul. Termasuk adendum yang terakhir tahun 2019, bulan Februari itu menyatakan karena dari penyidik Kejagung menyatakan bahwa kasus Djoko Soegiarto Tjandra hanya korupsi, kasus penggelapannya tidak. Itu terkait adendumnya,” sebutnya.

Djoko Tjandra didakwa telah menyuap dua jenderal polisi guna membantu menghapus namanya dari DPO di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.

Upaya tersebut dimaksudkan agar Djoko nantinya bisa masuk ke wilayah Indonesia secara sah dan tidak ditangkap oleh aparat penegak hukum lantaran berstatus buronan.

Ia berencana mendaftar Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukumnya dengan pidana 2 tahun penjara dan denda Rp15 juta subsider 3 bulan kurungan atas korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.

Dua jenderal polisi yang dimaksud adalah mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Mabes Polri, Irjen Napoleon Bonaparte yang mendapat uang Sin$200 ribu dan US$270 ribu serta mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo dengan US$150 ribu.

Artikel ini telah tayang di CNNIndonesia.com dengan judul “Kasus Djoktjan, Eks Interpol Jelaskan Mekanisme Red Notice,”.

(al) 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *