Oleh Anco: Akademisi
Indonesia baru saja menuntaskan Pilkada serentak, ajang yang seharusnya menjadi perayaan demokrasi sejati. Namun, di balik gegap gempita pemilu ini, praktik politik uang masih menjadi duri dalam daging. Amplop kecil berisi uang terus beredar, mengubah suara rakyat menjadi komoditas, dan menggiring demokrasi menuju jurang kehancuran.
Fenomena politik uang tidak lagi mengejutkan, melainkan semakin mengakar. Berdasarkan survei Indonesian Survey Institute (2024), 41% pemilih mengakui menerima uang atau barang dari kandidat. Praktik ini telah menjadikan demokrasi kita sebagai ajang transaksi, bukan kontestasi gagasan. Sebuah kenyataan pahit yang menghancurkan esensi demokrasi sebagai sarana memilih pemimpin berdasarkan kapasitas, bukan finansial.
Kemiskinan menjadi alasan utama mengapa politik uang begitu subur di Indonesia. Berdasarkan data BPS (2023), lebih dari 9,57% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam kondisi terdesak, uang tunai dari kandidat sering kali dianggap solusi instan untuk kebutuhan sehari-hari, sementara janji-janji kampanye terasa jauh dari kenyataan. Situasi ini memaksa masyarakat miskin untuk tunduk pada logika amplop.
Sebuah studi dari Journal of Southeast Asian Studies (2023) mengungkapkan bahwa 68% pemilih miskin lebih memilih kandidat yang memberikan insentif finansial, meskipun mereka tahu kandidat tersebut mungkin tidak memiliki kompetensi. Ini menciptakan lingkaran setan, di mana kemiskinan dipertahankan demi memudahkan eksploitasi suara rakyat di pemilu berikutnya.
Pemimpin yang terpilih melalui politik uang jarang memiliki insentif untuk membangun kesejahteraan rakyat. Penelitian dari Journal of Public Administration Research and Theory (2024) mencatat bahwa kepala daerah yang terlibat politik uang memiliki peluang 60% lebih besar untuk terjerat korupsi. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur malah dialokasikan untuk kepentingan pribadi atau kelompok pendukung.
Kerugian akibat politik uang bukan hanya persoalan moral, tetapi juga ekonomi. Laporan Transparency International (2023) mengestimasi bahwa Indonesia kehilangan hingga Rp 25 triliun per tahun akibat kebijakan tidak efektif dari pemimpin hasil politik uang. Dana sebesar ini bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki sistem pendidikan atau memperluas akses layanan kesehatan bagi masyarakat miskin.
Sementara itu, negara-negara seperti Selandia Baru dan Finlandia telah membuktikan bahwa demokrasi tanpa politik uang bukanlah hal mustahil. Berdasarkan laporan Economist Intelligence Unit (2023), kedua negara ini memiliki indeks demokrasi di atas 9,0, jauh meninggalkan Indonesia yang hanya mencapai angka 6,71. Rahasia keberhasilan mereka terletak pada masyarakat yang melek literasi politik dan ekonomi yang stabil.
Pendidikan menjadi elemen kunci dalam memerangi politik uang. Studi dari World Development Journal (2024) menunjukkan bahwa peningkatan tingkat pendidikan sebesar 10% dapat mengurangi praktik politik uang hingga 45%. Dengan literasi politik yang lebih baik, masyarakat akan lebih sadar bahwa suara mereka adalah kekuatan yang tak ternilai, bukan barang dagangan.
Kemiskinan juga harus menjadi perhatian utama jika Indonesia ingin memutus rantai politik uang. Contoh program seperti Bolsa Familia di Brasil menunjukkan bahwa pengentasan kemiskinan dapat menurunkan ketergantungan masyarakat pada politik transaksional hingga 50%. Indonesia membutuhkan program serupa yang transparan, efektif, dan bebas dari korupsi.
Namun, di Indonesia, pelaksanaan program bantuan sosial sering kali terhambat oleh penyalahgunaan wewenang. Data dari KPK (2023) menunjukkan bahwa 65% dana bantuan sosial rentan terhadap korupsi. Dalam situasi ini, politik uang menjadi lebih dari sekadar strategi pemilu; ia mencerminkan penyakit sistemik dalam tata kelola pemerintahan.
Penegakan hukum yang lemah hanya memperburuk masalah. Di Korea Selatan, pelaku politik uang dapat dijatuhi hukuman hingga 10 tahun penjara, memberikan efek jera yang nyata. Sebaliknya, di Indonesia, hukuman terhadap pelaku politik uang sering kali hanya bersifat simbolis, memberikan ruang bagi praktik ini untuk terus berlangsung tanpa hambatan.
Generasi muda menjadi harapan untuk memutus lingkaran ini. Kampanye politik berbasis digital, seperti gerakan Youth Democracy Movement di Filipina, telah berhasil meningkatkan partisipasi pemilih muda hingga 20%, tanpa pengaruh politik uang. Gerakan serupa bisa diadaptasi di Indonesia untuk membangun kesadaran politik generasi muda.
Media juga memiliki peran penting dalam melawan politik uang. Kampanye publik yang masif dan konsisten dapat membantu masyarakat memahami dampak buruk praktik ini terhadap demokrasi. Kolaborasi antara media, lembaga pendidikan, dan tokoh masyarakat sangat diperlukan untuk memperluas literasi politik.
Pilkada harus menjadi ajang adu gagasan, bukan kontestasi kekayaan. Pemimpin yang ideal adalah mereka yang menawarkan solusi nyata bagi rakyat, bukan sekadar membagi amplop berisi uang. Demokrasi yang sehat membutuhkan pemilih yang cerdas dan pemimpin yang berintegritas.
Politik uang adalah ancaman besar bagi masa depan bangsa. Rakyat harus menyadari bahwa suara mereka adalah kekuatan utama untuk menciptakan perubahan, bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan. Dengan menolak amplop dan memilih berdasarkan kapasitas, kita bisa menciptakan demokrasi yang adil dan berkelanjutan.
Indonesia masih memiliki peluang untuk keluar dari bayang-bayang politik uang. Dengan memperbaiki pendidikan, mengentaskan kemiskinan, dan menegakkan hukum dengan tegas, kita bisa membangun demokrasi yang lebih kuat. (Adm)