Penulis: Rahmat (Mahasiswa Program studi Ilmu Komunikasi, Univesitas Negeri Jakarta)
TERAWANGNEWS.com – Di tengah kesibukan menangani wabah covid-19 pada 2020 silam, beredar hoaks tentang makan telur rebus tengah malam dapat mencegah wabah covid-19. Pesan berantai yang beredar di WhatsApp, ditambah rekaman manipulatif seorang anak baru lahir dapat berbicara membuat panik banyak masyarakat.
Selain itu, survei di bidang politik yang dilakukan Masyarakat Anti fitnah Indonesia (Mafindo) menunjukan hasil cukup mencengangkan. Pasalnya, survei yang melibatkan 2.011 responden tersebut menunjukkan bahwa 60% responden tidak mengetahui bahwa klaim tentang Warga Negara Asing (WNA) diberi KTP untuk mencoblos adalah hoaks, dan 66,1% responden tidak mengetahui bahwa klaim Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dimobilisasi untuk memenangkan pasangan calon tertentu juga hoaks.
Hoaks atau fake news telah menjadi salah satu tantangan utama dalam era digital. Sejak Agustus 2018 hingga Mei 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) atau Kementerian Komunikasi dan Digital (KOMDIGI) pada saat ini, melalui Tim AIS (Analisis Informasi dan Sensor) telah mengidentifikasi dan memverifikasi sebanyak 11.642 dan sebanyak 1.923 konten hoaks sepanjang tahun 2024.
Perkembangan era digital telah membawa dampak yang signifikan terhadap cara berkomunikasi dan berbagi informasi. Di balik kemudahan dan kecepatan yang dihadirkan oleh teknologi, terdapat ancaman serius dan berpotensi merusak, yaitu penyebaran hoax. Hoax atau berita palsu telah menjadi fenomena yang sangat mengkhawatirkan di era digital ini.
Penyebaran hoax dapat menyebabkan kerugian material dan non-material, mempengaruhi keputusan sosial dan politik, serta merusak kepercayaan dan reputasi individu dan organisasi.
Penyebaran hoax juga telah menjadi lebih mudah dan cepat dengan adanya media sosial dan platform online lainnya. Hal ini telah memungkinkan hoax untuk menyebar dengan cepat dan luas tanpa harus melalui proses verifikasi dan validasi yang ketat. Senada dengan penjelasan teori Agenda Setting yang diperkenalkan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw. Teori ini menyatakan bahwa media memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang menjadi perhatian publik. Ketika media memberikan sorotan besar pada berita tertentu, publik cenderung menganggapnya penting. Namun, jika yang disorot adalah hoaks, masyarakat bisa terjebak dalam persepsi yang salah dan lebih rentan terhadap manipulasi. Selain itu, media juga dapat membingkai informasi palsu sehingga terlihat lebih kredibel, yang memperkuat dampak hoaks dan mempersulit klarifikasi.
Oleh karena itu, sangat penting memahami bagaimana cara mengatasi penyebaran hoax dan melindungi diri dari dampak negatifnya hoa. Ada beberapa beberapa poin yang relevan untuk dianalisis dalam pencegahan penyebaran berita hoaks.
Literasi Digital
Di era digital, literasi digital memegang peran penting dalam membantu masyarakat menjadi pengguna yang cerdas dan bertanggung jawab. Kemampuan literasi digital melibatkan keterampilan dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan berkomunikasi tentang informasi yang diterima. Semua ini menjadi kunci untuk membangun masyarakat yang terinformasi dan terhubung secara optimal di dunia digital. Strategi yang efektif untuk meningkatkan literasi digital meliputi pendidikan sejak dini dan pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran interaktif.
Berpikir Kritis
Berpikir kritis merupakan keterampilan esensial yang harus dimiliki setiap orang, terutama dalam menghadapi tantangan penyebaran berita palsu di era digital. Dengan keterampilan ini, individu dapat menilai dan menganalisis informasi secara objektif, memisahkan fakta dari opini, serta menghindari bias. Kemampuan ini sangat berguna dalam membuat keputusan yang bijak dan terinformasi. Dalam penerapannya, langkah-langkah seperti memverifikasi sumber informasi, mencari bukti pendukung, dan mempertanyakan logika informasi sangat efektif untuk menyaring berita palsu.
Kolaborasi
Pentingnya menekankan kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk sekolah, keluarga, dan masyarakat, serta kerja sama antara pemerintah, akademisi, dan industri teknologi. Kolaborasi ini bertujuan untuk menciptakan ekosistem yang lebih tangguh terhadap berita hoaks. Misalnya, perusahaan teknologi memiliki peran dalam menciptakan algoritma yang mampu mendeteksi dan mengurangi penyebaran konten hoaks.
Regulasi dan Kebijakan
Regulasi yang ketat sering dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengurangi penyebaran berita hoaks. Di Indonesia, misalnya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), hukum yang mengatur sanksi terhadap penyebar berita palsu, sering digunakan untuk menangani kasus hoaks.
Namun, regulasi ini juga menuai kritik. Regulasi yang mestinya dirancang dengan hati-hati agar tidak melanggar kebebasan berekspresi, malah disalahgunakan untuk membungkam kritik. Oleh sebab itu, penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan secara adil dan konsisten, sehingga tidak menimbulkan kesan diskriminasi dalam penerapan aturan tersebut.
Pemanfaatan Teknologi
Teknologi dapat dimanfaatkan secara efektif untuk mencegah penyebaran hoaks. Penggunaan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) memungkinkan deteksi berita palsu secara cepat dan efisien melalui algoritma cerdas yang mampu mendeteksi hoaks secara dini, sehingga informasi palsu dapat segera diklarifikasi atau ditangkal.
Selain itu, juga dapat penggunaan teknologi berbasis crowdsourcing untuk memverifikasi berita. Selain itu, juga dapat menggunakan teknologi berbasis crowdsourcing untuk memverifikasi berita. Teknologi berbasis crowdsourcing adalah metode yang melibatkan partisipasi banyak individu untuk menyelesaikan tugas atau mengumpulkan data. Dengan metode ini, komunitas pengguna dapat berkontribusi dengan mengumpulkan, memeriksa, dan melaporkan informasi yang mereka temukan di berbagai sumber.
Meskipun teknologi memiliki manfaat besar, kendalannya masih menjadi perhatian. AI, misalnya, memiliki keterbatasan dalam memahami konteks yang bisa menyebabkan kesalahan identifikasi berita, sehingga hanya dapat berfungsi sebagai alat pendukung. Faktor manusia tetap kunci dalam menentukan validitas informasi.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Upaya pencegahan penyebaran berita hoaks membutuhkan pendekatan yang holistik, melibatkan edukasi literasi digital, kolaborasi multi-stakeholder, regulasi yang adil, dan pemanfaatan teknologi. Berbagai langkah tersebut telah dirancang dengan baik, tetapi implementasinya masih menghadapi banyak tantangan.
Untuk meningkatkan efektivitasnya, perlu ada upaya lebih lanjut dalam:
1. Meningkatkan akses masyarakat terhadap edukasi literasi digital melalui metode yang inovatif.
2. Memastikan teknologi yang digunakan memiliki tingkat akurasi tinggi dan dilengkapi dengan pengawasan manusia.
3. Menciptakan platform kolaborasi yang transparan antara pemerintah, perusahaan teknologi, dan masyarakat sipil.
4. Menyusun regulasi yang tidak hanya tegas tetapi juga melindungi kebebasan berekspresi.
5. Memastikan teknologi yang digunakan memiliki tingkat akurasi tinggi dan dilengkapi dengan pengawasan manusia.